Laman

Jumat, 30 Maret 2012

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (KELAS 1ID05)

TUGAS KEWARGANEGARAAN

Tentang Pasal 28 UUD 1945
dan
UU NO. 11 Tahun 2008
Tentang 
UNDANG-UNDAG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

 Disusun Oleh:
1. Prayoga Nugroho ( 39411153 )
2. Rizky Ananda Putra ( 36411365 )
3. Roni Kurniawan ( 36411450 )

UNIVERSITAS GUNADARMA
2012

======================================================
Pasal 28 UUD 1945

Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.

Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
  

Contoh kasus pada pasal 28B:

Hukuman Mati, dan Pemberlakuan Hukum  Surut – Amrozi Cs. telah di eksekusi mati oleh pihak kejaksaan. Pro-kontra hukuman mati telah menimbulkan gejolak khususnya dikalangan masyarakat dan penegak hukum, karena proses hukum dari penuntutan dengan menggunakan UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diberlakukan surut terhadap Amrozi CS hingga vonis hukuman mati bertentangan dengan konstitusi, dimana berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Hak-hak dasar tidak bersifat mutlak.
Bahwa pada dasarnya ketentuan hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) bukanlah ketentuan hukum yang bersifat mutlak karena pembatasan-pembatasan / pengecualian atas hak tersebut telah diatur dalam pasal 28 J ayat (2), dimana dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
Bahwa dari ketentuan pasal 28 J ayat (2) dapat kita pahami bahwa hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam pasal 28 I ayat (1) bukanlah bersifat mutlak, karena secara tegas hak tersebut dapat dibatasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28 J ayat (2) dimana pembatasan tersebut harus diatur dalam UU. Bahwa pembatasan-pembatasan tersebut ternyata selain harus diatur dalam UU juga harus memenuhi unsur frase untuk memenuhi tuntutan yang adil sesesui dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat. Frase ini tentu saja sifatnya sangat subjektif, namun menurut penulis tujuan keadilan tersebut harus di temukan/diwujudkan oleh hakim dengan memperhatikan moral, nilai-nilai agama, kemanan dan ketertiban umum dalam masyarakat.
Bahwa vonis hukuman mati yang selama ini mendapatkan penentangan dengan alasan bertentangan dengan moral karena akan menimbulkan lingkaran kekerasan yang tidak berujung dan bertentangan dengan konstitusi ternyata tidak selamanya tepat, karena hukuman mati dan pelaksanaannya telah diatur oleh Pasal 10 KUHP yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan UU No. 2 (Pnps) Tahun 1964, sehingga selama pelaksanaannya diatur berdasarkan undang-undang maka hal tersebut tidak dapat dianggap melanggar Konstitusi. Kejahatan-kejahatan yang menimbulkan kegoncangan dan kerugian bagi masyarakat yang dilakukan sedemikian rupa dengan terencana, berdasarkan sifatnya dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tepat jika dijatuhi hukuman mati, yang tentu saja harus dibuktikan terlebih dahulu apakah bukti-buktinya kuat, tidak ada alasan pemaaf dan pembenar, tidak ada rasa penyesalan atas tindakan tersebut, dan berdasarkan penilaian hakim dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum sebagaimana diamanatkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 hal tersebut dapat dijatuhkan hukuman mati. Sehingga secara yuridis sosiologis, fungsi hakim dalam memberikan vonis tidak semata-mata didasari pada alasan legalistik, pandangan etika, moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum juga menjadi pertimbangan dalam menjatuhkan vonis hukuman mati.
Menurut penulis frase dalam pasal 28 I ayat (1) yang berbunyi tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun bukan merupakan kaidah hukum berlaku secara mutlak, karena jiika frase tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dilaksanakan secara mutlak maka akan menimbulkan rasa ketidak-adilan yang timpang di tengah masyarakat masyarakat.
Peristiwa hukum Yunani klasik bisa kita jadikan contoh kasus, dimana karneades seorang Yunani di jaman kuno, takala kapalnya tenggelam dapat menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan yang terapung di air, namun tenyata pada papan tersebut ada orang lain yang juga sedang berusaha untuk menyelamatkan dirinya dengan berpegangan dengan papan. Oleh karena papan hanya bisa menampung satu orang lalu karneades mendorong orang tersebut dari papan, sehingga orang tersebut meninggal. Atas hal ini penuntut umum pada saat itu membawa perkara ini ke Pengadilan namun oleh sang Pengadil (hakim) karneades dibebaskan (dimaafkan) walaupun secara moral hal tersebut tidak dibenarkan.
Jika kita menggunakan ketentuan Pasal 28 I ayat (1) maka tindakan karneades tidak dibenarkan dan harus dihukum berat, karena hak untuk hidup yang dimiliki oleh seseorang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini tentu saja akan mengugah rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
Demikian hal nya dengan ketentuan seseorang tidak dapat dituntut atas dasar hukum tidak berlaku surut sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) tidak dapat diberlakukan secara mutlak, hal ini telah dibatasi dengan ketentuan pasal 28 J ayat (2). Jika kita berpegangan pada Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 KUHP jelas larangan penuntutan oleh hukum yang berlaku surut tidak secara mutlak, karena dalam ayat (2) dapat ditafsirkan bila terjadi perubahan maka akan haruslah dipakai ketekentuan yang ringan. Frase ini tentu tidak konsisten dengan pemberlakukan hukum yang surut.
Contoh kasus, pada suatu hari A dan B melakukan tindak pidana dan kemudian ditangkap, oleh karena dalam penangkapan A mengalami jatuh sakit kemudian proses penyidikan dilakukan terlebih dahulu pada si B, kemudian si B disidangkan dan akhirnya dihukum. Pada saat si B telah mendapat vonis A sembuh dan proses penyidikan pun dilakukan. Pada saat proses penyidikan berlangsung ternyata telah terjadi perubahan undang-undang bahwa tindak pidana yang dilaksanakan oleh si A dan B ternyata bukan lagi merupakan tindak pidana, oleh karenanya berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (2) si A dibebaskan. Dalam hal ini tentu saja sangat jauh dari nilai-nilai keadilan, khususnya bagi terpidana B.
Bahwa dalam pandangan penulis pemberlakukan hukum yang surut pada prinsipnya tidak mutlak apalagi undang-undang sebelumnya telah mengatur, namun yang terpenting dari pemberlakuan hukum surut tersebut adalah tindak pidana tersebut demikian kejamnya sehingga berdasarkan moral, etika, agama dan ketertiban umum tindakan tersebut sudah sepatutnya di hukum, tanpa memandang undang-undang tersebut berlaku surut atau tidak. Sehingga titik tolak berlakunya tuntutan pidana berlaku surut adalah kejahatan itu sendiri.

Kesimpulan:
Oleh karenanya berdasarkan hal tesebut jelas bahwa hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dapat disimpangi, yang tentu saja selama diatur oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus
senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;
b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai
pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga
pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar
ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang
secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru;
d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan
untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional;
e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan
pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui
infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi
dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan
nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.


CONTOH KASUS UU NO 11 TAHUN 2008:
d.1 Suatu implementasi hukum yang benar-benar mengatasi kasus ini
Indonesia adalah negara hukum dimana segala sesuatunya terdapat pada kajian hukum, dan dengan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju menjadikan proses hukum yang perlu ditingkatkan dengan peraturan-peraturan atau undang-undang yang terkait dan dapat memberikan implementasi berarti bagi kasus ini.
Implementasi merupakan konsep yang sering digunakan dalam bidang manajemen. Bob Adams (1998, p. 191) “Implementasi merupakan langkah spesifik yang dilakukan dalam mengintegrasikan strategi dan untuk mengetahui bahwa strategi yang ditetapkan sebelumnya sudah benar”[1]
Penindakan penyalahgunaan ini terdapat pada kajian UU ITE (Informasi dan Transaksi Eletronik) No. 11 Tahun 2008 pasal 30 dimana pada ayat 3 yaitu : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan”.
Dalam kajian ini, suatu bentuk tindakan yang akan di aplikasikan pada suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak yang berniat secara jahat bukan dengan maksud untuk hal yang positif. Implementasi dari UU ITE sebagai gerakan yang dicanangkan oleh pemerintah dalam meminimalisir bahkan menghilangkan fenomena yang berkembang ini seperti halnya menjebol sistem pengamanan pada akun pribadi. Dan dari UU ITE pasal 30 ayat 3 ini terhadap penyalahgunaan hukum akan diberikan sanksi dengan ancaman pidana maksimum 8 tahun denda maksimum Rp.800juta.

d.2 Kasus Cracker yang merajalela pada akun pribadi
Kekayaan akan ilmu pengetahuan yang tak luput pada kajian ilmu-ilmu teknologi informasi dan komunikasi menuntut seseorang dimuka bumi ini terus berinovasi dalam mengaplikasikan kajian keilmuan terkait. Namun, tidak selamanya orang bertindak seperti itu, terdapatnya para cracker yang mengaplikasikan kajian keilmuannya dengan misi yang jahat atau buruk.
Cracker adalah sebutan untuk orang yang mencari kelemahan sistem dan memasukinya untuk kepentingan pribadi dan mencari keuntungan dari sistem yang dimasuki seperti: pencurian data, penghapusan, dan banyak yang lainnya.[2]

Perusakan akun pribadi oleh cracker merajalela dalam kehidupan kita berbagai pihak yang merasa dirugikan dari oknum tak bertanggung jawab ini. baik dari kalangan publik figur sampai masyarakat luas. Banyak sekali kasus yang terjadi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Seperti halnya kasus cybercrime di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
·    Indonesia meskipun dengan penetrasi Internet yang rendah (8%), memiliki prestasi menakjubkan dalam cyberfraud terutama pencurian kartu kredit (carding). Menduduki urutan 2 setelah Ukraina (ClearCommerce)
·    Indonesia menduduki peringkat 4 masalah pembajakan software setelah China, Vietnam, dan Ukraina (International Data Corp)
·    Beberapa cracker Indonesia tertangkap di luar negeri, singapore, jepang, amerika, dsb
·    Beberapa kelompok cracker Indonesia ter-record cukup aktif di situs zone-h.org dalam kegiatan pembobolan (deface) situs
·    Kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus (APJII)
·    Sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun (AKKI)
·    Layanan e-commerce di luar negeri banyak yang memblok IP dan credit card Indonesia. Meskipun alhamdulillah, sejak era tahun 2007 akhir, mulai banyak layanan termasuk payment gateway semacam PayPal yang sudah mengizinkan pendaftaran dari Indonesia dan dengan credit card Indonesia.[3]
Pada kasus ini jelas sekali semakin meningkatnya kasus pembobolan, perusakan sistem keamanan pada akun pribadi seseorang.
d.3 Fungsi UU ITE dalam penegakan penyalahgunaan Cracker dalam perusakan akun pribadi
UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia Internet (cyber), termasuk didalamnya memberi punishment terhadap pelaku cybercrime. Dan cybercrime dideteksi dari dua sudut pandang, yaitu:
Kejahatan yang Menggunakan Teknologi Informasi Sebagai Fasilitas: Pembajakan, Pornografi, Pemalsuan/Pencurian Kartu Kredit, Penipuan Lewat Email (Fraud), Email Spam, Perjudian Online, Pencurian Account Internet, Terorisme, Isu Sara, Situs Yang Menyesatkan, dsb.
Kejahatan yang Menjadikan Sistem Teknologi Informasi  Sebagai Sasaran: Pencurian Data Pribadi, Pembuatan/Penyebaran Virus Komputer, Pembobolan/Pembajakan Situs, Cyberwar, Denial of Service (DOS), Kejahatan Berhubungan Dengan Nama Domain, dsb. [4]
Maka, UU ITE secara khusus yang menyangkut pada pembahasan dalam pasal 30 ayat 3 dinyatakan secara tegas penindakan bagi peyalahgunaan para cracker dalam perusakan akun pribadi milik orang lain. Peraturan ini menunjukkan bahwa, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak selamanya berdampak positif dan sesuai dengan harapan kita semua. Namun, dengan kajian ilmu yang mendukung banyak oknum yang mencoba melakukan suatu tindakan yang bertujuan mencari keuntungan tanpa berpikir panjang untuk melawan hukum secara sengaja ataupun tidak dengan melanggar, menerobos, menjebol sistem keamanan.
Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. [5] dan Hukum mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai Sarana pengendalian masyarakat (a tool of social control), Sarana pemelihara masyarakat (a tool of social maintenance), Sarana untuk menyelesaikan konflik (a tool of dispute settlement), Sarana pembaharuan/ alat merekayasa masyarakat (a tool of social engineering, Roscoe Pound). Dari fungsi-fungsi hukum tersebutlah pemerintah sebagai penjamin kepastian hukum dapat menjadi sarana pemanfaatan teknologi yang modern. Sebagai salah satu bukti nyata adalah dibuatnya suatu kebijakan dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diharapkan mempunyai dampak terhadap kegiatan perekonomian di Negara Indonesia. [6]

d.4 Kelemahan Pasal 30 UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) No. 11 tahun 2008 terhadap penindakan penyalahgunaan
Sisi pasal 30 pada UU ITE ini memiliki nilai kelemahan yang dilihat oleh penulis, dimana dalam suatu tindakan terhadap penyalahgunaan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut masih bersikap kurang tegas akan penindakannya. Mungkin dikarenakan pada pasal ini masih kurang jelas dan bersifat umum. Dimana didalamnya tidak dijelaskan penjebolan, menerobos seperti apa yang dilarang dan diperbolehkan. Karena pada kenyataannya ada hal-hal yang diperbolehkan dalam menerobos sistem pengamanan akun pribadi. Seperti halnya akun pribadi yang berabu unsur kejahatan, asusila dan lain sebagiannya.dan pada UU ITE banyak yang belum mengetahui secara jelas sehingga masih banyak pihak yang tak segan dan tak jera bermain dan menerobos sistem pengamanan akun pribadi milki orang lain.

Kesimpulan:
UU ITE sebagai gate keeper dalam penindakan penyalahgunaan hukum termasuk pembobolan serta perusakan sistem keamanan, dan cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia Internet (cyber), termasuk didalamnya memberi punishment terhadap pelaku cybercrime.
UU ITE Pasal 30 ayat 3 No. 11 tahun 2008, merupakan suatu bentuk penegasan dalam hukum pada oknum-oknum dalam menjebol serta masuk pada sistem keamanan termasuk pada sistem kemanan akun pribadi yang berkembang saat ini.
Hukum yang tertulis perlu dimplementasikan sebagai tindak nyata dari konsekuensi hukum tersebut.
Namun, kenyataannya masih banyak kasus ini merajalela ditengah masyarakat dengan maksud-maksud dalam memenuhi kepusaan sesaat para perusak akun pribadi atau disebut cracker.
Cracker adalah sebutan untuk orang yang mencari kelemahan sistem dan memasukinya untuk kepentingan pribadi dan mencari keuntungan dari sistem yang dimasuki seperti: pencurian data, penghapusan, dan banyak yang lainnya.
UU ITE masih memiliki kelemahan diantaranya masih kurang jelas dan bersifat umum. Dimana didalamnya tidak dijelaskan penjebolan, menerobos seperti apa yang dilarang dan diperbolehkan. Karena pada kenyataannya ada hal-hal yang diperbolehkan dalam menerobos sistem pengamanan akun pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar